Saturday, June 19, 2010

Indonesia Punya Karya

Ketika Anda belajar mengenai sesuatu yang baru, mudah untuk merasa kewalahan oleh jumlah semata-mata informasi yang relevan yang tersedia. Artikel informatif ini akan membantu Anda berfokus pada titik pusat.
Benar-benar ide yang baik untuk menggali lebih dalam subjek dari berita indonesia. Apa yang Anda pelajari dapat memberikan rasa percaya diri yang Anda butuhkan untuk usaha ke daerah baru.

TEMPO Interaktif, Jakarta - Apresiasi besar layak diberikan untuk penari Indonesia. Dalam perhelatan Indonesian Dance Festival (IDF) ke-10 yang digelar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, sepanjang 14-17 Juni lalu, enam koreografer kita menyuguhkan karya-karya yang patut diacungi jempol.

Dalam festival tari internasional bertema œPowering the Future tersebut, karya yang ditampilkan keenam koreografer itu masih mengambil akar budaya klasik Indonesia. Tapi ada juga yang menyuguhkan tari modern, seperti karya almarhum Gusmiati Suid berjudul Seruan, yang dimainkan kembali oleh murid-muridnya. Mereka terdiri atas 5 orang pemain dan 5 orang pemusik. Tari ini bercerita tentang keadaan manusia yang tak lagi mendengar apa kata nuraninya. Maka, hanya Tuhanlah yang mampu menjadi obat bagi semua kelakuan menghalalkan segala cara demi kekuasaan dan materi.

Seruan sangat kental dengan warna Minangkabau. "Gerakan dalam tari mengambil dasar-dasar silat," kata asisten koreografer, Benny Krisnawardi, seusai pentas dalam pembukaan IDF pada Senin malam lalu. Gerakan yang banyak mengentak dan sesekali menjulangkan tangan ke atas tak lain adalah interpretasinya atas penunjukan Tuhan sebagai ujung sekaligus awal.

Musik sebagai iringan dihadirkan sangat minimal. Hanya tembang yang terucap dan mengiringi tarian. Malam itu, gerak yang didominasi oleh unsur maskulin tersebut boleh dibilang sangat memukau.

Ada lagi karya koreografer Eko Supriyanto berjudul Home: Ungratifying Life, yang menjadi sajian penutupan festival, Kamis malam lalu. Komposisi anyar itu sangat kental dengan warna Jawa, sebagai tempat kelahiran Eko. Itu kian kuat warna Jawanya dengan kehadiran tembang Jawa yang selalu didengungkan.

Meski tembang Jawa, Eko memilih bunyi-bunyian yang terkesan monoton, bising, dan ajek. "Saya sengaja memilih bunyi-bunyian seperti itu untuk sebuah teror," kata Eko. Karya ini bercerita tentang kegelisahan Eko atas ketiadaan rumah sebagai tempat yang paling aman dan nyaman. Manusia dikatakannya bukan lagi manusia jika mereka tak menerima alam. Bahkan mereka tak tahu di mana rumah itu karena kehidupan yang semakin hiruk-pikuk.

Eko menghadirkan ornamen bingkai yang ia tempatkan di tengah panggung. Bingkai tersebut mewakili sebuah rumah atas bentuk jendela. Di akhir garapan, muncul anjing yang mewakili bagian dari alam sekitar.

Dominasi gerak lambat memang dipilih Eko dalam koreografinya, yang berkesan sunyi dan meneror penonton atas suasana hening. "Kehidupan memang sangat cepat, tetapi bagi saya itu berjalan sangat lambat. Ini bagian dari teror itu," Eko menjelaskan.

Lain halnya dengan karya Siti Ajeng Soelaiman, Andara Firman, dan Fitry Setyaningsih dalam komposisi tari berjudul S[h]elf. Karya ini sebelumnya pernah dipentaskan di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, pada Mei lalu. Mereka mengeksplorasi tubuh dengan gerak tari modern dan tema yang modern pula.

Tarian modern juga hadir dalam karya koreografer Jecko Siompo. Pada malam penutupan, Jecko bersama empat penari lainnya mementaskan karya lamanya berjudul Dari BETA MAX Sampai DVD Berjajar Pulau-Pulau.

Tarian tersebut menggambarkan betapa kuasanya teknologi yang mampu memudahkan segala aktivitas. Gerak robotik sangat mendominasi. Namun sesekali gambaran manusia purba juga terlihat di sana. Lewat karyanya, Jecko ingin menyampaikan bahwa kehebatan teknologi adalah sebuah pesan tradisi.

ISMI WAHID

Jangan membatasi diri Anda sendiri dengan menolak untuk mempelajari rincian tentang berita indonesia. Semakin banyak Anda tahu, akan lebih mudah untuk berfokus pada apa yang penting.

No comments:

Post a Comment